Indonesian Nostr People! IndoNostr.xyz

Panjang Umur Kasih Sayang

Seorang penulis yang terjebak dalam ruang imajinasi ciptaannya sendiri. Di dunia nyata, menyingkir adalah pilihan paling tepat untuk intropeksi diri.

Cerpen Panjang Umur Kasih Sayang oleh Abengkris

Sejak tadi aku duduk di kafe ini seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Jemariku bergerak semaunya diatas papan ketik laptop sebab otak tidak menemukan ide barang sedikitpun. Sampai seorang pelayan datang menghampiriku.

Kopi hitam pekat dengan sedikit gula? kata pelayan itu sembari meletakkannya diatas meja.

Aku mengangguk tanpa menolehnya. Iya, makasih.

Sendirian aja nih? ia masih berdiri ditempatnya sambil mencoba melongok ke laptopku.

Iya. Kali ini aku menoleh sambil tersenyum sekenanya.

Di hari Valentine begini? pelayan itu pasti mencoba ramah kepadaku, aku mengerti. Tapi sepertinya terlalu banyak bicara meskipun ia tahu aku adalah pelanggan tetap disini.

Memangnya kenapa? jawabku mengkerutkan dahi dan tetap fokus kelayar laptop tanpa menolehnya.

Pelayan sialan itu dengan santainya meninggalkanku. Buruan cari pacar mas Sandy, nanti keburu jadi bujang lapuk lho. Kali ini aku benar-benar kesal dengan ucapan terakhirnya.

Pelayan itu namanya Rey, tempo hari ia sempat cerita padaku bahwa ia baru saja jadian dengan wanita pujaan hatinya, Sari. Kami sebenarnya sudah cukup akrab meskipun tidak dekat karena aku sering berkunjung kesini. Terkadang aku juga memintanya semeja denganku untuk sekedar mengobrol dan minum kopi ketika kafe sepi pengunjung, bahkan sampai aku temani dia berkemas menutup kafe, aku tidak membantunya, aku duduk dimejaku ia yang beres-beres. Jadi ketika tadi ia menyindirku seperti itu cukup wajar, tapi tidak kepada pengunjung yang lain.

Aku menyandarkan punggungku pada kursi dan menghela napas, masih aku pandangi layar laptopku. Aku memiliki firasat mungkin karena aku belum minum kopi jadi otakku terasa buntu, sebenarnya hanya perasaanku saja. Ku raih cangkir kopi yang tadi di antar Rey keparat itu, dengan penuh gairah seperti vampir melihat darah aku meminumnya dan, sial! Lidahku melepuh kepanasan sebab aku lupa meniupnya terlebih dahulu.

Aku meletakkan sebelah sikuku diatas meja sedang telapak tanganku menggenggam separuh mukaku sendiri, aku memejam mata, menggali lebih dalam kepada setiap kemungkinan, perasaan dan sekitarku. Seperti dukun yang mendapat nomor togel di tengah kuburan tiba-tiba aku tersenyum, aku tahu apa yang harus aku tulis.

Heavy ValenTime, tulisku dalam heading 1.

Di suatu pagi, sepasang suami istri bertengkar tidak ada yang mau mengalah membahas dari mana saja semalam Robert Rolen, ayahanda Valencia di ruang tengah hingga terdengar sampai ke kamar Valen. Suara berisik pertengkaran itu sampai membuat Valen terbangun, ia kesal, menarik selimutnya sampai keatas kepala agar tidak terdengar, tapi ia salah, suara orang tuanya masih tetap kedengaran.

Valen bangkit dari kasurnya duduk bersandar pada bantalan ranjang sambil mengacak-acak rambutnya sendiri penuh emosi. Membuang pandangannya ke arah jendela yang tertutup gorden putih, cahaya matahari begitu terang menembus masuk dari celah-celah gorden itu. Valen masih terdiam memandangi jendela dengan kesadaran yang masih mengambang, perlahan menstabilkan matanya yang dipaksa terbuka akibat terganggu oleh kedua orangtuanya. Pertengakaran itu sepertinya mulai mereda meskipun sapatah dua patah kata masih terdengar saling bersautan, tidak setegang tadi.

Valencia melirik kalender diatas meja disebelah tempat tidurnya, tanggal 5 yang dilingkari spidol merah, jadwal datang bulannya telah tiba. Ia beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Valencia tidak seperti gadis pada umumnya, ia cuek untuk masalah bersolek apalagi terpaku didepan cermin untuk waktu yang lama. Bulu mata, pensil alis dan gincu serta kerabatnya adalah benda yang dihindarinya. Nyaris stelan yang ia kenakan selalu sama dan bisa dibilang itu-itu saja, tshirt, hoodie, celana jeans dengan dengkul yang bolong dan sepatu boot kesayangannya, dr Martens.

Ayah dan ibunya duduk disofa yang sama, namun berada dikedua ujungnya dan menyisakan ruang yang luas ditengahnya, tanpa sepatah katapun yang terucap dari mulut mereka masing-masing saat Valen keluar dari kamar. Valen tidak menegur mereka dan bergegas menuju pintu depan.

Mau kemana kamu? tiba-tiba suara sang ibu menegur.

Valen tidak menoleh dan tetap melanjutkan langkahnya. Mau beli pembalut. Tegasnya.

Nggak sarapan dulu Val?

Nggak ma, belum laper. Valen setengah berteriak menjawab sang ibu karena sudah berada diluar pintu.

Ia menghela napas lalu memasang headphone dikepalanya, berjalan keluar pagar, memasukkan kedua tangannya dimasing-masing lubang kantong hoodie-nya. Terus berjalan melewati trotoar, menikmati musik kesukaannya, sesekali membetulkan backpack canvas yang ia sandang sebelah saja, menyapu pandangannya kesegala penjuru komplek perumahan tempat ia tinggal.

Sambil berkacak pinggang dideretan rak yang berisi berbagai macam merk pembalut mata Valen masih mencari sesuatu padahal yang ia cari sudah ada didepan mata. Ia mengambil satu pembalut dari rak dan berjalan lesu menuju kasir. Ia merasa seperti tak enak badan, mungkin efek dari datang bulan. Sampai dikasir Valen meletakkan satu bungkus pembalut itu dimeja kasir, kemudian...

Maaf mas, aku lupa bawa dompet, ketinggalan dirumah. Valen menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia malu sekali.

Duh, gimana ya mbak. Mbak tinggal aja dulu belanjaannya, pulang dulu ambil uangnya nanti kesini lagi, nggak bakal hilang kok. Penjaga kasir minimarket itu memberi saran kepada Valen yang salah tingkah.

Eh, iya deh. Jawab Valen pasrah.

Tiba-tiba seorang laki-laki dari belakang Valen memotong. Berapa belanjaan mbak ini? Penjaga kasir dan Valen heran.

Eh, tiga puluh satu ribu lima ratus, mas. Jawab penjaga kasir.

Laki-laki itu mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Valen masih belum paham apa yang terjadi.

Valen menarik tangan laki-laki itu menahan agar penjaga kasir tidak mengambil uangnya.

Maaf mas, nggak usah repot-repot, biar aku pulang aja dulu ambil uangnya.

Laki-laki itu menggeleng.

Sudah nggak apa-apa, dari pada mbaknya bolak-balik kerumah dulu terus kesini lagi. Jawab laki-laki itu sambil terus berusaha memberikan uangnya kepada penjaga kasir.

Oke deh kalo mas maksa. Valen menyerah setelah berpikir benar juga kata laki-laki itu, dari pada bolak-balik.

Nah, gitu dong, izinkan saya berbuat baik.

Eh... makasih, Mas? Valen menyodorkan tangannya.

Dengan cepat laki-laki itu menyambut jabatan tangan Valen. Soni.

Valencia Rolen, panggil saja Valen.

Maaf mas, mbak, gantian sama yang ngantri dibelakang. Potong penjaga kasir kepada mereka berdua.

Valen dan Soni terkejut lalu tertawa. Aduh, maaf mas, jadi berapa? kata Soni menanyakan sisa yang harus dibayar, Soni membeli kertas sampul.

Mereka keluar minimarket sambil saling tersenyum-senyum karena membuat pembeli yang lain menunggu mereka. Lalu keduanya terdiam didepan teras minimarket itu.

Eee.. keduanya nyaris berbarengan ingin bicara. Mereka berdua tertawa.

Kamu duluan aja. Valen mempersilahkan.

Nggak apa-apa, kamu duluan aja, ladies first. Jawab Soni.

Aku cuman mau bilang, sekali lagi, makasih udah mau nalangin. Ucap Valen sambil mengangkat barang yang ia beli tadi.

Ohh.. Soni tertawa. Oke-oke, nggak perlu diangkat tinggi-tinggi juga kali. Soni tertunduk dan menggaruk kepalanya dengan sebelah tangan. Iya nggak apa-apa, santai aja. Ucapnya kemudian.

Aduh, sorry-sorry.. Valen tersipu dan dengan cepat ia menyembunyikan pembalut itu kebelakang badannya.

Aku harus kembali ke kantor, ada tugas yang harus aku kerjakan. Soni menunjukkan kertas sampul yang tadi dibelinya.

Oh iya, hati-hati, makasih lho ya.

Iya, sama-sama, kamu nggak apa-apa, pucat gitu mukanya.

Nggak apa-apa, biasa, efek datang bulan.

Soni tersenyum dan berlalu menuju motornya di parkiran. Sedang Valen masih berdiri ditempatnya, pandangannya mengantar Soni sampai hilang diantara mobil-mobil dijalan raya. Valen berjalan meninggalkan minimarket sambil memijat kepalanya sendiri dengan satu tangan, belum jauh, baru beberapa langkah saja dari minimarket itu, pandangan Valen tiba-tiba gelap. Beruntung seorang laki-laki salah satu pengunjung minimarket baru saja keluar dan mendapati Valen terkulai tak sadarkan diri. Dengan sigap laki-laki itu menghampirinya.


Aku bersandar meluruskan pinggang menarik napas panjang dari hidung dan mengeluarkannya dari mulut, sambil mengusap wajah dengan kedua tanganku. Meminum sisa kopi yang sudah tak lagi panas sama sekali. Merogoh saku di dada kiriku, selinting rokok dari tembakau gayo oleh-oleh tetanggaku sepulang dari Takengon, Aceh. Aku bakar bagian ujung yang besar, menghisapnya perlahan, kurasakan asapnya melewati tenggorokan dan memenuhi paru-paruku, ku tatap langit-langit dan membuang napas, kepulan asap keluar dari mulutku dan mengudara. Sial, aku hanyut kedalam cerita yang ku buat sendiri.

Jarak beberapa meja didepanku, meja nomor empat belas dengan dua kursi yang masih kosong, diatas meja itu terdapat tulisan dikertas dengan penyangga akrilik: Reserved. Tampaknya seseorang telah memesan untuk momen yang spesial terlihat dari bunga mawar merah dalam vas kaca disana, ah iya, bagaimana mungkin aku lupa, hari ini adalah hari valentine.

Aku tidak peduli. Yang aku perdulikan adalah sampai dimana cerita ku tadi, baiklah, jemariku mulai menari kembali diatas papan ketik laptop.


Valen berusaha mungkin membuka matanya, buram, perlahan-lahan terlihat langit-langit ruangan dengan lampu yang menyilaukan mata. Ia dapati dirinya terbaring dan kedua orangtuanya disisi kanan ranjang. Kepalanya masih terasa berat, memperhatikan sekeliling dengan berbagai pertanyaan dikepalanya. Dipergelangan tangan kirinya tertancap selang infus. Dipandanginya wajah kedua orangtuanya itu, tersenyum tipis sambil mengusap-usap tangan kanannya.

Ma, Pa, Aku ada dimana? tanyanya sembari terus melihat-lihat disekitar.

Kamu ada di rumah sakit nak, beruntung pemuda baik hati menemukanmu pingsan didepan minimarket dan mengantarmu kesini. Jawab sang ibu.

Valen tersenyum tipis menanggapi jawaban sang ibu. Lalu membuang tatapan ke salah satu sudut ruangan, matanya berkaca-kaca. Sang ayah mengusap kepalanya. Kata dokter sore nanti kamu sudah bisa pulang, sekarang istirahatlah. Kata sang ayah mencoba untuk menenangkan putri semata wayangnya itu.

Aku capek lihat kalian berdua bertengkar terus setiap hari. Aku ingin seperti keluarga yang normal. Ungkap Valen dalam isakan.

Ayah dan Ibunya saling pandang ragu-ragu.

Setelah ini nanti kita akan makan malam bersama, yang penting sekarang kamu pulihkan dulu badanmu, ya.

Papa janji? Valen menoleh ayahnya dengan penuh harap.

Robert menatap sang istri yang berada disampingnya. Tanya mamamu.

Iya Ma? tanya Valen pada ibunya pula dengan mimik muka yang sama.

Sang ibu tersenyum. Iya, sayang.

Valen membuka kedua tangannya meminta pelukan, mereka bertiga berpelukan seolah tadi pagi dirumah, di minimarket tadi, tidak pernah terjadi apa-apa.

Kembali kesuasana kafe dengan segala hiruk pikuknya. Aku mengangkat tangan kananku memanggil Rey yang mematung di depan meja barista sambil memperhatikan setiap meja pengunjung. Aku mengodenya menunjuk cangkir kopi didepanku dan mengacungkan jari telunjukku. Pelayan itu membalas dengan jempolnya bersamaan mulutnya mengatakan sesuatu tanpa suara: Oke. Rey paham maksudku.

Aku melanjutkan menulis sambil menunggu Rey membuatkan pesananku.

Mobil yang membawa pulang Valen, ayah dan ibunya baru saja sampai di garasi. Pak yanto, supir keluarga mereka turun duluan membukakan pintu. Valen keluar dipapah ayahnya diikuti ibunya dari belakang menuju kedalam rumah.

Udah pa, aku nggak apa-apa, udah mendingan kok. Valen merasa canggung diperlakukan istimewa, ia tak biasa.

Sssttt... ayahnya mengisyaratkan agar diam dan menurut saja.

Sesampai dikamar valen dibaringkan dikasurnya. Ayah dan ibunya meletakkan barang-barang miliknya diatas meja dipinggir tempat tidur.

Kamu enakin badan dulu ya, jangan kemana-mana. Mama sudah suruh bi Muna nyiapin makan malam.

Valen hanya mengangguk.

Ayah dan ibunya meninggalkan ia sendirian dikamar. Setelah ibunya menutup pintu kamar Valen, Robert menahan istrinya. Ma, aku minta maaf. Ini demi kebaikan putri kita.

Ya, demi putri kita. Dan kamu baru sadar sekarang, kemana saja kamu? Susi, istri pengusaha itu mendengus lalu berlalu meninggalkan suaminya yang mematung.

Makanan dengan berbagai macam rupa sudah tersaji diatas meja makan, bi Muna masak banyak hari ini, tentunya atas perintah nyonyanya, Susi. Sembari bi Muna menata hidangan, Robert dan Susi sedari tadi sudah duduk disana.

Robert membuka percakapan. Mana Valencia, Ma?

Valen! Makanannya sudah siap, nak. Ayo sini! Susi memanggil putrinya yang masih berada dikamar.

Valen tak menyahut. Tak lama kemudian ia keluar dari dalam kamar dan langsung bergabung dengan kedua orangtuanya dimeja makan. Susi mengambilkan piring dan menuangkan nasi lalu memberikannya pada Valen.

Nih, lauknya kamu ambil sendiri. Mama meminta bi Muna memasak ayam goreng presto kesukaanmu.

Bagaimana keadaanmu, Val? Robert berusaha memecah suasana agar makan malam itu tidak terlalu kaku.

Valen menelan sisa makanan yang berada didalam mulutnya. Baik, Pa, aku udah seger lagi. Belum pernah sesehat ini sebelumnya, bisa makan malam bareng kalian berdua lagi. Mereka bertiga tersenyum.

Tambah lagi nak, ayamnya. Timpal Susi.

Mama mau buat aku gendut, ya?! jawab Valen dengan mimik wajah terkejut manja.

Robert dan Susi tertawa melihat ekspresi anaknya itu. Kini suasana makan malam begitu intim diisi dengan canda tawa menceritakan kenangan-kenangan lucu yang pernah mereka alami. Valencia tersenyum dalam haru menatap kedua orangtuanya bergantian yang larut dalam obrolan. Momen yang sudah lama Valen rindukan. Ia tidak memperdulikan topik apa yang sedang dibicarakan sampai pada satu kalimat ayahnya yang mengganggu lamunannya.

Jarang ada anak muda sebaik dia.

Siapa, pa? tanya Valen penasaran.

Itu, anak muda yang membawamu ke rumah sakit. Siapa namanya, ma?

Ee.. Soni.

Hah, Soni? Valen terkejut.

Ya, benar namanya Soni. Sayang papa nggak sempat bertemu dengannya untuk bilang terima kasih. Dia sudah pergi ketika papa sampai rumah sakit. Papa tahu namanya dari suster diresepsionis dalam daftar kontak penanggung jawab pasien baru. Dan papa sempat mencatat nomor teleponnya untuk bilang terima kasih, belum papa lakukan. Kamu harus bilang terima kasih sendiri pada pemuda itu. Terang Robert sembari memberikan ponsel dan menunjukkan layar kontaknya pada Valen.

Aku udah kenyang, aku ke kamar dulu ya. Makasih ma, pa, makan malamnya. Pamitnya setelah mencatat nomor kontak yang diberikan ayahnya.

Valen masuk ke kamarnya dengan pengetahuan baru tentang kejadian tadi pagi. Fakta yang tidak disangka-sangka, pemuda baik hati yang membawanya kerumah sakit adalah orang yang sama dengan laki-laki yang menalangi uang pembalutnya, Soni. Valen menghubungi nomor yang diberi ayahnya.

Halo, Soni?

Ya, saya sendiri, ini siapa ya?

Valencia Rolen, perempuan malang yang tadi pagi kau selamatkan.

Astaga Valen, ya-ya dari mana kamu dapet nomorku?

Dari papaku.

Hah? Soni heran, tapi dia tak melanjutkan pertanyaannya.

Kenapa?

Nggak apa-apa, ada apa meneleponku?

Aku mau bilang terima kasih, thank you so much. Aku nggak tahu lagi nasibku kalau nggak ada kamu.

Oke-oke.. terima kasih kembali. Nggak perlu diucapkan berkali-kali, sih.

Nggak apa-apa, emm besok sibuk tidak, barangkali kita bisa ngopi, sebagai balasan terima kasih karena sudah menolongku.

Tentu saja bisa, besok adalah hari perayaan bagi karyawan sepertiku, Sunday is holiday.

Baiklah, nanti aku kirim lokasinya lewat WhatsApp, sampai ketemu besok. Bye..

Bye..

Sejak itu Valen dan Soni intens bertemu dipelbagai kesempatan..


Rey datang mengantar kopi keduaku. Sambil senyum-senyum tidak jelas ia memandangiku ketika meletakkannya diatas meja.

Ngopi dulu, bos.

Ah, iya.

Aku tersedak saat menyeruput kopi yang baru diantar Rey. Bukan karena panas, tapi dua orang yang duduk di meja reservasi itu. Astaga, aku kenal mereka, aku pura-pura tidak melihat. Aku melanjutkan menulis. Tapi kali ini berbeda, aku menulis dengan jantungku yang terpompa tidak beraturan. Tanganku bergetar.

Sebulan setelah hari sial yang menimpa Valen, kini kedekatannya dengan Soni menuju kearah yang lebih serius. Sepulang mereka dari sebuah eventdalam perjalanan mengantar pulang Valen ke rumahnya, Soni berencana mengajak Valen makan malam disebuah kafe.

Waktu yang dijanjikan telah tiba, 14 februari. Makan malam yang sangat romantis. Mereka memang tidak saling menyatakan perasaan, tapi apa yang mereka alami menggambarkan segalanya. Selayaknya sepasang insan yang dilanda kasmaran, mereka tidak memperdulikan sekitar.

Jarak beberapa meja dibelakang mereka, dipojokan ruang kafe yang penuh romantika, ada seorang pria kesepian. Laki-laki itu adalah aku. Bagaimana mungkin apa yang aku tulis berkesinambungan dengan dunia nyata? Ya, jelas nyata bagiku.

Aku tak sanggup. Kutinggalkan sisa kopi yang masih separuh. Beranjak dari kursi yang kududuki menghampiri kasir untuk membayar semua yang sudah aku pesan. Membayar apa yang pernah aku lakukan. Dengan mendapati kau bahagia dengannya.

Aku keluar dari kafe menjauhimu yang tengah berbunga-bunga. Kau anak semata wayang pemilik kafe tempat ku biasa mengopi. Sedangkan aku siapa? Aku adalah orang yang mencoba sabar dalam antrian yang kau buat panjang, di minimarket itu. Tempat pertama kali kau kenal Soni. Aku adalah pemuda yang mendapatimu terkulai tak sadarkan diri didepan minimarket. Kuantar kau ke rumah sakit dengan taksi lalu membayar dengan uang makan terakhir dari simpananku bulan itu.

Sesampainya di rumah sakit aku bilang namaku Soni. Dan nomor telepon itu, kau tak sadar ia menyelipkan kartu namanya di kantung plastik pembalutmu. Setelah ku pastikan kau baik-baik saja kata dokter, aku menghubungi Rey untuk menyampaikan bahwa putri semata wayang bosnya berada di rumah sakit. Meski aku patah, setidaknya kau tumbuh, bersama keluargamu yang kembali utuh. Kau dapatkan kembali kasih sayang yang sempat hilang. Dan aku, biarkan aku mengembara mencari ketenangan, panjang umur, kasih sayang.

~ TAMAT ~


Panjang Umur Kasih Sayang (Short Movie)
Produced by Youtuber Batam