Prolog - Cerita Damar Langit

Cerita Damar Langit. Ini cerita pilu, kau tak akan sanggup jika menjadi aku.

Hai, perkenalkan, namaku Damar Langit. Seorang laki-laki keturunan Jawa berusia 26 tahun pada Agustus 2021 ini. Kata ibuku, aku anak paling tampan miliknya. Tapi ketika aku bercermin, aku tahu ibuku berbohong.

Aku ingin menceritakan perjalanan hidupku padamu, penting? Iya, bagiku, tidak tahu denganmu. Tapi jikalau kamu mau membacanya aku akan sangat berterimakasih.

Mungkin saja nanti kamu bisa belajar dari cerita yang akan aku bagikan. Semoga kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan di masa lalu menjadi pelajaran dan bukan sesuatu yang patut dicontoh.

Cerita ini tentang cinta, sahabat, keluarga, dan cita-cita. Tentang perjuangan mencari jati diri. Tentang aku, Damar Langit, mencari alasan untuk berdamai dengan diri sendiri.

Salam hangat dari teman barumu, Damar Langit.

Prolog

Kenyataannya, yang pernah datang pasti akan pergi. Suatu saat nanti entah esok atau lusa. Tahun depan atau mungkin juga hari ini. Tidak ada yang tahu pasti waktunya. Tapi ketahuilah, itu benar-benar terjadi. Seperti yang aku alami saat ini. Beratus-ratus hari sudah aku jalani dengan segala macam rupa keadaan. Sedih, senang, haru, marah dan lain sebagainya. Tapi dari sekian banyak perasaan yang pernah singgah dilubuk dadaku ini, tidak terpikirkan bahwa kesakitan lah yang akan mendiami cukup lama. Entah untuk sementara atau selamanya.

Biarkan aku cabut satu per satu ingatan yang terdapat dalam kenanganku. Ku urai sedemikan rupa agar aku menemukan letak kesalahan yang mungkin bisa aku jadikan obat untuk pereda luka. Jika bisa lebih baik lagi menjadi penyembuh rasa kecewa juga, mungkin. Entahlah. Aku hanya mencoba mencari tahu apa semua ini kenyataan atau aku hanya sedang bermimpi saja. Untuk orang yang sedang di rundung luka sepertiku susah membedakan nyata dan tidak nyata. Masa lalu, kemarin, tadi malam, dan bahkan sekarang sudah bercampur aduk menjadi seperti iklan yang muncul berbarengan tanpa jeda, tanpa ampun, membabi buta!

Di sisi lain aku marah kepada semuanya. Terutama kepada diriku sendiri yang tak menghargai waktu. Masa-masa yang seharusnya aku pergunakan untuk menikmati kebersamaan. Aku sedih. Aku tak tahu harus bercerita kepada siapa. Aku malu. Malu memberitakan kebenaran. Mungkin melalui buku ini segalanya akan aku tuangkan. Tanpa sekat. Tanpa dinding pembatas manusiawiku, gengsi.

Sepengetahuanku, orang-orang tidak akan menceritakan keadaan sebenarnya jika itu bisa mempengaruhi citranya di mata orang lain. Itu tidak berlaku denganku saat ini. Aku tidak lagi peduli. Dunia akan mengetahui siapa aku. Seorang anak manusia, biasa. Punya hati dan perasaan seperti manusia pada umumnya. Mari ku ajak melintasi ruang waktu yang mengendap dalam kepalaku sebelum hari ini terjadi.

Baca selanjutnya:

Bab 1: Merantau