Indonesian Nostr People! IndoNostr.xyz

[Cerpen] Nada Sendu di Titik Temu

Beranjak, setelah patah dua kali. Nada sendu dititik temu. Alita Dwi Putri & Arjuna Setiyadi

[Cerpen] Nada Sendu di Titik Temu

Alita Dwi Putri, gadis berusia dua puluh dua tahun dan tercatat sebagai karyawan disebuah pabrik yang berlokasi di Batam. Hidup sebatang kara di kota industri, berawal dari iming-iming UMR yang cukup tinggi dari kota asalnya, jawa. Setelah lulus sekolah memberanikan diri mengadu nasib dikota orang melalui jalur perekrutan. Dengan harapan dapat membalas jasa kedua orangtuanya yang sudah menyekolahkannya selama ini. Keinginannya sangat mulia, ia ingin memberangkatkan kedua orangtuanya untuk pergi haji. Tapi ini bukan cerita tentang Alita. Melainkan cerita seorang pemuda kelahiran setempat, bukan putra daerah. Namanya Arjuna Setiyadi, biasa dipanggil Juna. Terjebak diperantauan selamanya. Sebab kedua orangtuanya dahulu berangkat dari niat yang sama seperti Alita, merantau meninggalkan kampung halamannya masing-masing untuk mengadu nasib dan pada akhirnya bertemu lalu menikah. Sejak itu sampai juna saat ini sudah berumur dua puluh empat tahun menganggap Batam adalah kampung halamannya. Benar, ia menetap.

Juna dan Alita memiliki selera musik yang sama, musik dengan lirik-lirik perlawanan. Hal inilah yang membawa mereka bergabung dengan salah satu fanbase grup band beraliran punkrock asal pulau dewata. Juna jatuh hati pada pandangan pertama kepada Alita. Seorang gadis manis yang mempunyai selera musik berbeda dari gadis-gadis pada umumnya menjadi daya tarik tersendiri dimatanya. Tapi juna bukan tipe lelaki yang lihai mendekati wanita. Ia cendrung pemalu dan hanya menjadi pengagum rahasia. Tentu saja. Alita didekati oleh Randi, teman satu fanbase juga. Mudah ditebak, kemudian mereka berpacaran. Romansa ditanah industri. Juna hanya bisa gigit jari melihat pujaan hatinya dipacari teman sendiri.

Beberapa tahun kemudian fanbase itu vakum. Kebanyakan sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing. Ada yang mengejar karir sampai keluar negeri, melanjutkan studi, dan menikah. Sedangkan juna masih tinggal, menunggu teman baru dari kampung halamannya untuk merantau. Kemudian kabar terakhir tentang Alita yang juna dapatkan sudah habis kontrak kerja dan kembali ke kampung halaman. Kabar sedih untuk Juna, kabar baiknya adalah Alita sudah putus dengan Randi.


Disuatu sore ketika juna tengah asik menikmati senja disebuah kafe, tiba-tiba notifikasi Line-nya berbunyi. Tak disangka, ternyata wanita yang pernah menjejal hatinya dengan cinta menanyakan kabar. “Hai, apa kabar?” begitulah isi didalam bilah obrolan. Ternyata itu adalah Alita. Alita yang bertanya kabar, jantung juna yang berdebar-debar. Padahal Juna sudah mulai lupa dengan cerita-cerita tentang fanbase terutama dengan gadis manis itu. Alita mengabari Juna bahwa ia saat ini sedang di Batam.

“Kamu ngapain di Batam?” Tanya juna melalui pesan suara.

“Aku kerja disini lagi jun...”

“What?!... baiklah, nanti malam kebetulan ada konser di mall yang baru saja buka. Bisa kita bertemu? Kita bisa ngopi setelahnya. Nanti aku kirimin alamatnya.”

“Oke..”

“Daaa...”

Akhirnya mereka berdua sepakat membuat janji temu.


Suara gemuruh pengeras suara pada pesta rakyat malam itu sangat memekakkantelinga. Lahan parkir pada sebuah gedung perbelanjaan yang belum lama buka itu seketika disulap menjadi pertunjukan meriah. Tampak kerumuan yang berdesakan orang-orang sangat antusias merapatkan diri ke arah penggung utama. Mereka berebut ingin melihat lebih dekat bintang tamu pengisi acara, band rock ber-vokalis wanita asal ibu kota yang selama ini hanya mereka lihat dari layar kaca.

Sedangkan Alita, gadis berkerudung ungu muda itu asik berkutat dengan ponselnya. Ia tengah sibuk membalas pesan juna yang sedari tadi tersesat di tengah keramaian. Lalu disisi lain, Juna yang lusuh penuh peluh masih berusaha menerobos lautan manusia dan sesekali memasang mata mencari keberadaan Alita.

“Halo? Kamu dimana?” Tanya juna dalam telepon memastikan posisi alita.

“Hah?, Apa?” Sahut alita yang tidak dapat mendengar suara juna dengan jelas.

“Kamu di sebelah mana?” Tanya juna sekali lagi setengah berteriak.

“Aku disebelah kiri panggung.” Jawab alita.

“Apa?!” Kali ini juna yang tidak mendengar suara alita.

“Di sebelah kiri panggung, Juna...”

Riuh sorak-sorai penonton menyambut idola mereka yang mulai beraksi di atas panggung membuat keduanya tidak bisa mendengar suara lawan bicaranya diseberang telepon.

Setelah drama hampir satu jam saling mencari akhirnya Juna dan Alita bertemu juga. Juna menyeka dahinya yang sudah berkeringat dan perlahan menghampiri Alita yang melambaikan tangannya mengisyaratkan keberadaannya di tengah keramaian.

“Kamu sama siapa, Lit?” Juna menyapa Alita membuka percakapan.

“Ini, sama temen.” Jawab Alita sembari menunjuk seorang lelaki disebelahnya.

“Oh, Halo mas..” Juna menyodorkan tangannya menyalami teman Alita yang tak dikenalinya itu.

Detik, menit pun terus melaju. Tak terasa waktu kian berlalu. Acaranya pun semakin meriah dan seru. Para penonton hanyut dalam alunan musik yang di mainkan oleh idola mereka di atas panggung. Ramai-ramai bernyanyi bersama layaknya paduan suara. Tapi tidak dengan Juna dan Alita juga teman lekakinya itu. Mereka seperti berada di dalam atmosfer yang berbeda. Obrolan Juna dan Alita pun tidak secair pada saat drama pencarian tadi. Juna yang sesekali mencuri pandang ke arah Alita yang beberapa kali terlibat percakapan dengan teman lelakinya itu. Juna menyadari, bahwa ternyata lelaki itu adalah teman lama Alita yang sudah lama tidak bertemu. Mereka saling bertukar nomor telepon, mengenang terakhir kali bertemu,mengingat kisah-kisah lama yang sempat mereka lalui bersama. Sedangkan Juna sesekali mengibas kerah bajuya mencari angin untuk menyejukan gerah hatinya.

Pertunjukan telah usai, harapan Juna yang ingin selalu terus berada di dekat Alita pun selesai. Juna membawa buah tangan kekecewaannya pulang. Mereka berpisah kembali ke rumah melalui jalan yang tak searah.

Bagaimana aku seharusnya agar mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku merasa keberuntungan tidak pernah memihak kepadaku sama sekali. Dalam hatiku, aku ingin seperti laki-laki lain yang dengan mudahnya mendapatkan wanita yang ia taksir. Mengungkapkan perasaan tidak semudah mencuci tangan sehabis makan. Ini lebih dari sekedar menaruh perasaan pada lawan jenis. Menjatuhkan hati pada orang lain tidak segampang itu, apalagi harus menerima konsekuensi dengan jawaban yang akan di terima.

Jam sudah menunjukkan pukul 12:30 dini hari. Dalam perjalanan pulang di antara jalan-jalan yang sudah lenggang di atas motor buatan jepang keluaran tahun 2014 itu Juna masih saja berbicara dengan dirinya sendiri. Masih ia ratapi dirinya yang tidak pernah berhasil dalam berperan sebagai seorang lelaki yang diharapkan Alita. Malah, seringkali usahanya untuk memantaskan diri tak pernah mendapat respon seperti yang ia harapkan. Misalnya saja seperti pada tempo hari saat ia mengirim pesan kepada Alita melalui WhatsApp, alih-alih membuat Alita terkesan, ia malah tertawa membalas pesan juna yang sok perhatian.

Juna sudah sampai dirumah. Seperti kebiasaannya setiap hari, juna adalah tipe orang yang tidak bisa tidur cepat. Bahkan jam yang seharusnya orang lain pada umumnya sedang tidur pulas, juna masih saja menyeduh kopi dan membuka microsoft word di laptopnya. Ya, juna sedang gemar menulis akhir-akhir ini. Ia terinspirasi dari sebuah novel roman karya Pramoedya Ananta Toer yang sempat ia baca belakangan ini. Ia mempunyai ide dari pada hanya menjadi pembaca mengapa tidak sekalian saja menjadi penulis juga. Apalagi juna mempunyai banyak kisah, kegelisahan yang jika di ceritakan akan cukup menjadi sebuah buku. Karena juna juga bukan tipe orang yang suka curhat sehingga banyak uneg-uneg yang ia simpan sendiri.

Imajinasi dan perasaan juna tengah bertempur hebat. Hanyut dalam diksi dan kata-kata yang menyusun menjadi kalimat. Paragraf demi paragraf mengalir begitu saja melalui jemari yang masih mengeja huruf pada papan keyboard laptopnya. Sesekali tangan kanannya meraih gelas kopi disampingnya yang sudah mulai dingin. Sedingin hatinya yang masih saja tidak mau menyatakan cintanya kepada alita. Bukan tidak mau, belum waktunya, atau terlalu takut jika nantinya Alita tidak menerima cintanya. Juna lagi-lagi berbicara dengan dirinya sendiri. Ia nikmati segala kegaduhan di dalam hatinya.

Jam sudah menunjukan pukul 04:20 juna menyudahi menulis dan menyimpan naskah itu lalu menekan tombol shutdown pada laptopnya. Meraih sebatang rokok lalu membakarnya. Disandarkan punggungnya pada kursi. Menyeruput kopi yang tersisa beberapa teguk lagi. Menghisap rokok yang ia bakar tadi dan menhembuskan asapnya. Ia menengadahkan wajahnya lalu ia pandangi langit-langit kamarnya. Teringat kembali kejadian dipesta rakyat tadi, ia kembali teringat pujaan hatinya, Alita. Wajah Alita yang selalu terbayang-bayang dalam benaknya itu seakan tak mau pergi. Menghantui di setiap waktu, bahkan disaat-saat menjelang pagi seperti ini.

Juna mulai beranjak ke kasurnya berupaya menutup mata dan tidur. Berharap menjumpai Alita dalam mimpi indahnya. Pandangannya pun memudar dan kemudian hilang dalam lelap tidurnya.


Juna sadar, perasaan tidak bisa dipaksakan. Mungkin alita bukan kehendak tuhan memilih kata jodoh untuk juna. Hal terbaik yang bisa juna lakukan adalah melupakan. Berlahan-lahan, pelan-pelan.. kemudian melangkah dengan harapan baru. Lembar demi lembar menjilid halaman. Tidak terasa juga sejak cerita malam perayaan yang menyakitkan itu berlalu. Naskah juna pun rampung. Buku pertamanya itu ia beri judul “Beranjak, Setelah Patah Dua Kali” yang ia dedikasikan kepada luka. Alita Dwi Putri yang menginspirasi, Arjuna Setiyadi undur diri.